Minggu, 07 November 2010


Pertempuran 10 November 1945, diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Simbul perjuangan dari berbagai elemen itu digambarkan dengan bambu runcing. Mengingat, kota ini pernah dipertahankan dengan bambu runcing.

Setiap malam, kawasan bambu runcing di Jalan Tais Nasution, tak pernah sepi. Kalau siang sampai sore, kawasan itu ramai dengan órang-orang yang melakukan transaksi jual beli mobil. Saat malam menjelang, wanita-wanita berdandan menor, duduk diatas sadel sepeda, bersama combrenya, menunggu laki-laki hidung belang.

Ketika hari benar-benar gelap, kawasan itu tidak bertambah sepi tetapi semakin ramai. Disana ada penjual, stiker, dan kelompok penggemar sepeda motor, yang setiap hari bergiliran nongkrong. Tidak hanya itu, penjual minyak cobra juga sering berjualan. Kawasan itu sepertinya tidak pernah sepi.

Di seberang kawasan itu, ada sebuah patung bambu runcing, yang berdiri kokoh menjulang ke langit. Patung itu, bagian dari saksi sejarah negeri ini. Patung yang didirikan Tuti Azis itu seakan tak kuasa melihat perkembangan yang begitu pesat.

Kawasan yang dulu terlihat sepi dan gelap, kini hinggar bingar oleh suara musik dan juga orang-orang yang lalu-lalang. Mereka seperti tak mempedulikan, patung yang berdiri kokoh, bercat kuning itu. Padahal patung itu bagian dari sejarah yang telah memerdekakan negeri ini.

Begitulah banyak orang telah melupakan bambu runcing. Padahal pada masa perjuangan arek-arek Surabaya, bambu runcing adalah satu-satunya senjata andalan, para tentara pelajar, dan orang-orang kampong melawan Sekutu.

Prof. Dr. Aminudin Kasdi, MS, ahli sejarah dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menceritakan, bahwa bambu runcing, pernah digunakan oleh laskar-laskar yang berada di daerah-daerah. Para pemuda desa dengan inisiatifnya sendiri membuat senjata-senjata yang sebenarnya menurut Aminudin Kasdi, berasal dari pelajaran kemiliteran Jepang.

"Bambu runcing itu namanya takeari ini senjata untuk latihan para pemuda desa. sementara yang ikut Kaibodan dan Sinendan memakai kayu," tambah Aminudin.

Dalam perang sepuluh Nopember, memang arek-arek Surabaya banyak yang bersenjatakan bambu runcing. Senjata ini, pada masa penjajahan Jepang sangat terkenal. Senjata itu yang paling terkenal, bambu runcing yang berasal dari daerah Parakan, Jawa Tengah. menurut Aminudin Kasdi bambu runcing yang dari Parakan itu, bambunya padat, dan ros nya banyak, sehingga cukup kuat untutk senjata.

"Bapak saya sampai tahun 80-an masih menyimpan bambu runcing. Memang keadaannya lebih kuat bila dibandingkan dengan bambu yang ada di Surabaya," terang guru besar di jurusan Sejarah Unesa ini.

Ditambahkannya, penggunaan senjata bambu runcing itu pada dasarnya disebabkan oleh faktor ekonomi Indonesia pada waktu itu. Selain itu, pada waktu itu pohon bambu masih banyak tumbuh di sekitar Surabaya. “Jadi ada benarnya kalau rakyat Surabaya melawan Inggris dengan bambu runcing,” kata Aminudin.

Tetapi sayang, sejarah besar itu hampir banyak dilupakan. Tak banyak tulisan yang menggambarkan kekuatan bambu runcing, atau bahkan sejarahnya. Bahkan gambaran peperangan melawan Sekutu, juga tidak banyak yang mendokumentasikan.

Menurut Aminudin, setelah film Soerabaya 45, karya Gatut Kusumo bersama Imam Tantowi, sampai sekarang belum ada karya-karya baru yang menggambarkan perjuangan arek-arek Surabaya.

"Pembuatan film itu dibuat mulai tahun 85-86 untuk inventarisasi datanya. Pembuatan film itu melibatkan berbagai pihak, termasuk penggagasanya (alm) Blegoh Sumarto, mantan ketua DPRD Jatim," kata Aminudin yang pada waktu itu menjadi tim penyusun naskah peristiwa 10 Nopember 1945.

Padahal perang itu sunggguh fakta sejarah yang tak terbantahkan. Karena didalamnya, berbagai unsur rakyat bergabung menjadi satu, melawan penjajah, meski hanya dengan bamboo runcing.

Para pemuda seluruh kampung di Surabaya dan beberapa kesatuan yang ada di Surabaya seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Pemuda Putri Republik Indonesia (PPRI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia yang anggotanya terdiri dari para copet, wts, maling.

Meski hanya dengan bambu runcing, jagoan-jagoan dari Sasak, Pegirikan, dan Kapasan, mampu menyerang jendral Malabey hingga tewas, di depan gedung Internasio.

Menurut Aminudin, pergerakan arek Surabaya ini disulut oleh peristiwa pengibaran bendera belanda di hotel Yamato-sekarang hotel Majapahit-. Arek-arek Surabaya dengan dipimpin Kusno Wibowo, merobek bendera itu. Akibatnya terjadilah kontak senjata antara arek Surabaya dengan Belanda.

Sementara itu Ny. Thea Gatot Kusumo (istri almarhum Gatot Kusumo, red) menceritakan, bahwa perjuangan arek-arek Surabaya saat melawan Inggris dengan menggunakan bambu runcing.

"Ya, waktu itu rakyat Surabaya yang bersenjatakan bambu runcing, lari sampai Porong, bahkan Mojokerto," kata Ny. Thea Gatut Kusumo.

Pensiunan dosen sastra Inggris Unesa itu menambahkan, waktu itu tentara yang terdiri dari pemuda-pemuda kampung di Surabaya hanya bersenjatakan dari rampasan Jepang. Itu pun terbatas bagi kaum terpelajar saja. Sementara pemuda kampung sendiri hanya memakai bambu runcing, pedang samurai, dan kelewang.

"Pokoknya kalau mendengar suara thooor, kemudian berhenti lama, berati itu tembakan Tentara Republik Indonesia Pelajar. Tetapi kalau suara itu mendesing-desing berkali-kali, berarti itu senjata Inggris," kata Ny. Thea, membedakan kecanggihan senjata yang dipakai pejuang Surabaya.

Karena bentrokan itu terus berlangsung bahkan pasukan Inggris sudah melebarkan pendudukannya sampai daerah Jembatan Merah, akhirnya pemerintah pusat yang dipimpin oleh Soekarno, mengadakan perundingan dengan Inggris.

Pada saat perundingan itu, menurut Aminudin, struktur pemerintahan di Surabaya sudah lengkap. Gubernur pertamanya KRT. Suryo, R. Sudirman sebagai wakil, Drg. Mustopo sebagai kepala BKR-Jatim. “Perundingan ini atas jasa Ruslan Abdul Gani yang memang waktu sudah dekat dengan Bung Karno ketika sekolah di HBS,” tambah Aminudin.

Tetapi setelah perundingan selesai, tentara Inggris malah mendatangkan pasukan sebesar 24 ribu tentara. Bahkan akhirnya mereka mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata sambil mengangkat tangan atau membawa bendera putih tanda menyerah, pada tanggal 10 Nopember 1945 jam 06.00. Kalau tidak maka Surabaya akan dibumi hanguskan dari darat, laut, dan udara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar