Rabu, 03 November 2010

Info tentang pelajaran

Buku Pelajaran Sekolah G B ratis! Bebas! bahkan berbentuk e-book Onno W. Purbo

Awal tahun pelajaran sudah dekat! Buku pelajaran sekolah menjadi momok bagi para orang tua murid.

Bayangkan setiap semester tidak kurang Rp. 400-500.000 per anak harus di keluarkan dari kocek orang tua untuk membeli buku pelajaran sekolah. Sialnya, sering kali buku-buku tersebut tidak lagibisa di pakai ulang oleh adiknya.

Bagi orang tua yang anak-nya belajar di sekolah kejuruan (SMK) hari ini cukup beruntung, karena sebagian besar buku-buku pegangan untuk SMK saat ini dapat di ambil gratis dari Internet melalui Web http://www.psmk.net. Beberapa contoh bidang keahlian SMK yang dapat di ambil secara online adalah bidang Bisnis Manajemen, Kriya, Grafika, Pelayaran, Pertanian, Kecantikan, Busana, Bangunan, Elektro, Otomotif, Lafalo, Permesinan, Komputer & Jaringan, Kimia, BAKP dan MAK.

Siswa SMK cukup beruntung karena bisa memperoleh semua materi pelajarannya secara online dan bebas.

Keberadaan materi ajar online juga menambah semangat berbagai situs pendidikan di Indonesia untuk mulai berkiprah, beberapa diantara-nya adalah pendidikan.net, sltp.net, slta.net, pthp.net dan www.oke.or.id.

Siswa SD, SMP, SMU tampaknya belum se-beruntung rekan-nya yang ada di SMK. Tapi tampaknya usaha kearah itu makin hari makin jelas. Paling tidak dengan keluarnya Permendiknas No. 2 tahun 2008 tentang BUKU. Naskah peraturan ini tampaknya dapat di ambil di alamat pkln.diknas.go.id.

Tampaknya Permendiknas 2/2008 cukup revolusioner berpihak pada murid maupun orang tua murid. Beberapa hal yang yang menarik bagi para orang tua murid dengan adanya Permendiknas No 2 tahun 2008. Pada pasal 3 tertulis secara explisit strategi DIKNAS untuk membeli hak cipta buku dari para penulis buku sekolah. Dalam sebuah seminar di DIKNAS tentang Digital Library yang kebetulan saya hadir, tampaknya harga yang di patok oleh DIKNAS untuk membeli hak cipta dari penulis cukup menggiurkan sekitar Rp. 100 juta untuk sebuah mata pelajaran (satu judul buku).

Tapi, dibayar satu kali saja oleh pemerintah untuk jangka waktu 15 tahun. Memang, berbeda dengan penerbit yang membayar berbentuk royalti kepada penulis. Jika buku sangat laku, tidak jarang ada penulis yang menerima sekitar Rp. 20-40 juta / tahun dari penerbit.

Yang lebih seru lagi, pasal 8-9, secara eksplisit mengijinkan perorangan, kelompok orang dan badan hukum untuk menggandakan, mengcopy, mencetak naskah buku tersebut. Tanpa perlu membayar royalti lagi ke DIKNAS! Artinya jika DIKNAS cukup nekad membuat situs digital library seperti www.psmk.net dapat meletakan semua naskah buku-nya di sana. Artinya, semua orang dapat mendownload dan mencetak sendiri buku pegangan anak-nya.

Gilanya lagi, guru, sekolah bahkan dinas pendidikan tidak boleh memaksa orang tua murid untuk membeli buku tertentu. Hal ini tertuang secara explisit di Pasal 7, mungkin akan menyebabkan rejeki koperasi sekolah dari proses penyediaan buku pelajaran akan berkurang.

Terus terang, jika Permendiknas 2/2008 ini dapat terealisasi dengan baik maka bukan mustahil para orang tua hanya perlu membayar sekitar Rp. 10.000 / buku. Bahkan sangat mungkin memiliki softcopy dari buku-buku text / buku pegangan pelajaran sekolah anak-anak-nya. Tentunya di samping orang tua murid, yang banyak diuntungkan adalah provider Internet dan servis hosting yang memuat materi ajar yang berbentuk softcopy.

Tentunya di samping berbagai hal yang menarik di atas, akan banyak sekali kendala di lapangan yang akan terjadi dalam implementasi Permendiknas 2/2008. Bayangkan berapa keuntungan yang akan menghilang dari para penerbit yang memfokuskan diri ke buku-buku pelajaran sekolah.

Harga buku pasti akan jatuh, keuntungan menipis. Yang akan membuat dunia penerbitan menjadi agak chaotic, dengan adanya Permendiknas 2/2008 ini maka semua orang atau sekelompok orang dapat menjadi penerbit kecil. Pertanyaannya, apakah diperlukan ijin pemerintah untuk penggandaan buku yang dijualbelikan? terutama untuk menjamin kualitas buku yang sampai ke pembeli.

Ikatan penerbit buku, IKAPI, selama ini menjadi mitra pemerintah dalam pengadaan buku pelajaran.

Dari sekitar 154 penerbit buku, hanya 10% yang mempunyai mesin cetak sendiri. Harus diakui bahwa buku pelajaran sekolah merupakan pangsa pasar yang termasuk besar di Indonesia. Dengan dimungkinkannya semua orang menggandakan materi ajar sendiri bahkan menjualbelikannya kepada siswa, maka lebih dari 90% penerbit buku akan terancam usahanya. Secara nasional, kita perlu juga menjaga kelangsungan industri penerbitan, karena penerbitan merupakan industri padat karya dan padat modal. Tidak heran sebagian teman-teman di IKAPI merasa berkeberatan dengan isi pasal 8. Ibaratnya, habis manis sepah dibuang.

Secara kualitas, buku cetak dari penerbit relatif lebih bagus dari e-book yang digandakan dengan biaya murah. Memang jika e-book di print warna, maka biayanya akan lebih mahal. Di samping itu, biaya distribusi akan menyebabkan harga kota dengan pedalaman sangat jauh berbeda. Perbedaan-perbedaan ini akan menyebabkan masalah di lapangan, karena kemungkinan akan bertabrakan dengan pasal 8 yang menetapkan harga eceran oleh pemerintah. Tidak heran jika muncul pertanyaan, bagaimana pemerintah dapat menjamin kualitas buku yang di gandakan tersebut? apakah di perlukan ijin pemerintah untuk penggandaan buku yang dijualbelikan?

Di sisi lain, pemanfaatan e-book akan sangat tergantung pada infrastruktur digital library & Interent di Indonesia maupun di sekolah. Keberadaan jaringan sekolah, terutama di luar jawa, amat sangat membantu proses pemandaian anak bangsa. Contoh, di Wamena, Papua, dimana harga sekarung semen mencapai Rp. 450.000,-, harga buku sekitar Rp. 100.000,-, keberadaan Jaringan Pendidikan Nasional (JARDIKNAS) di smpn1wamena, smpn2wamena, smk yapis, dan sman1wamena menjadi dewa penolong bagi murid sekolah disana.

Memang, sebelum Jaringan Pendidikan Nasional (JARDIKNAS) di pindahkan ke PUSTEKOM, ada sekitar 15.000 sekolah yang tersambung ke Internet dari total 240.000+ sekolah di Indonesia. Dengan penurunan anggaran JARDIKNAS, terjadi penuruhan infrastruktur JARDIKNAS, akan terasa terutama di sekolah-sekolah yang jauh dari pulau jawa terutama di Indonesia bagian timur. Dari angka yang ada saat ini, kurang dari 10% dari sekolah di Indonesia yang akan menikmati keuntungan dari Permendiknas 2/2008. Perlu kebijakan untuk lebih memberdayakan Internet Sekolah, negosiasi USO ke DEPKOMINFO agar 2.5% keuntungan operator telekomunikasi dapat di alokasikan untukmenyambungkan dunia pendidikan sehingga Permendiknas 2/2008 menjadi bermanfaat.

Tanpa USO, tanpa JARDIKNAS, hanya mengandalkan proses swadaya masyarakat sekolah untuk mengkaitkan diri ke Internet akan menyebabkan proses pengkaitan 240.000+ sekolah di Indonesia memakan waktu 15-20 tahun lagi dengan beban sekitar Rp. 1000-5000/siswa/bulan. Jadi, saat ini, Permendiknas 2/2008 hanya dinikmati oleh 10% anak bangsa saja.

Kesulitan lain yang menampakan di hadapan mata, minim sekali interaksi DIKNAS dengan para
penulis buku pelajaran sekolah. Sulit sekali memperoleh informasi yang lengkap dari situs DIKNAS mengenai syarat, prosedur, dan mekanisme kompetisi untuk menjadi penulis buku pelajaran sekolah.

Sepertinya, informasi tersebut di samarkan, entah dengan sengaja atau tidak. Sangat di sayangkan jika hanya segelintir orang yang dapat berpartisipasi dalam proses penulisan buku pelajaran sekolah.

http://www.ayoomembaca.com
http://www.pustaka78.com
http://www.kemdiknas.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar